Menurut Ibrahim, praktik “divide et impera” yang dimainkan pengusaha asing maupun oknum tertentu tidak hanya merusak tatanan adat, tetapi juga mengancam keberlanjutan wilayah hukum adat Petuanan Kayeli.
"Tambang ilegal telah menciptakan perpecahan, bahkan muncul kelompok baru yang mengklaim sebagai raja dengan wilayahnya sendiri, sementara pusat Regentschap Kayeli diabaikan,” ujarnya, Sabtu malam (23/7/2025).
Ia juga menyoroti kejanggalan perizinan. Meskipun lokasi tambang berada di Desa Kayeli, Kecamatan Teluk Kayeli, dan musyawarah adat digelar di Regentschap Liliali, izin justru diproses melalui Kecamatan Waelata.
“Sebagai kepala pewaris, saya belum pernah memberi persetujuan apa pun. Ada keluarga saya yang terlibat dengan pengusaha, tapi itu tanpa sepengetahuan saya,” tegasnya.
Ibrahim menambahkan, ulah pihak-pihak nakal ini juga merugikan investor yang berniat masuk secara legal. Janji-janji palsu dan praktik penipuan membuat kerawanan sosial semakin besar.
“Situasi ini berpotensi memicu konflik, karena banyak pihak datang dengan niat buruk, membawa janji menyesatkan,” katanya.
Ia menekankan, tanpa campur tangan pemerintah, kondisi akan semakin tidak terkendali. Karena itu, ia meminta bupati dan gubernur bekerja sama menghentikan permainan cukong tambang.
“Pemerintah harus segera bertindak tegas. Jangan biarkan masyarakat adat Kayeli dikorbankan,” tutupnya. (LTO)
%20(18).jpeg)
0 komentar:
Post a Comment