Jakarta – Isu reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) saat ini menjadi salah satu topik yang hangat diperbincangkan di tingkat nasional. Berbagai kalangan, mulai dari tokoh masyarakat, pengamat politik, hingga aktivis, ikut memberikan pandangan terkait masa depan institusi penegak hukum ini. Salah satu tokoh yang turut angkat bicara adalah Ir. Haidar Alwi, seorang dermawan sekaligus pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) yang selama ini dikenal memiliki kepedulian besar terhadap masyarakat dan bangsa.
Dalam pernyataannya, Haidar Alwi menekankan bahwa pembahasan mengenai reformasi Polri harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Menurutnya, tuntutan masyarakat terhadap Polri untuk menjadi institusi yang lebih transparan, profesional, dan bebas dari intervensi politik adalah hal yang wajar. Namun, proses menuju perubahan itu tidak boleh disampaikan secara gegabah atau penuh emosi.
“Reformasi Polri kini menjadi perbincangan nasional yang tak bisa dihindari. Masyarakat mendambakan Polri yang lebih transparan, profesional, dan mampu bekerja tanpa bayang-bayang kepentingan politik. Namun, di balik tuntutan tersebut, ada hal yang sering terlewatkan, yaitu cara kita membicarakan isu ini. Sering kali narasi tentang reformasi Polri dilontarkan secara gegabah, tanpa mempertimbangkan dampak psikologis, sosial, maupun politik,” ujarnya.
Haidar menegaskan, kesalahan dalam penyampaian narasi terkait reformasi Polri dapat berdampak besar, bukan hanya pada citra Polri, tetapi juga terhadap stabilitas nasional. Ia mengingatkan bahwa isu keamanan adalah persoalan yang sensitif dan bisa memicu ketegangan di tengah masyarakat jika tidak dikelola dengan bijak.
“Sedikit saja salah ucap atau salah framing, dampaknya bisa luar biasa. Tidak hanya pada citra Polri, tapi juga pada stabilitas bangsa. Kita sudah punya pengalaman bagaimana isu keamanan bisa mengguncang situasi nasional. Kerusuhan pada Agustus lalu, misalnya, memperlihatkan betapa cepatnya situasi bisa berubah dari ketidakpuasan sosial menjadi kekacauan yang merembet ke banyak daerah,” jelasnya.
Menurut Haidar, narasi yang tidak hati-hati—baik yang disampaikan melalui media maupun oleh pejabat publik—berpotensi memperbesar api keresahan, menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara, bahkan memberi ruang bagi aktor politik untuk memanfaatkan situasi.
Dalam konteks ini, Haidar Alwi menyerukan semua pihak untuk berperan aktif namun tetap bijaksana. Pengamat politik dan keamanan diminta untuk memberikan analisis yang tajam dan berbasis data, bukan sekadar spekulasi yang dapat memicu polemik. Aktivis pun diingatkan bahwa kritik harus disertai dengan solusi nyata agar tidak hanya memperkeruh keadaan.
“Media juga memikul tanggung jawab besar. Mereka harus menyajikan informasi yang jernih, bukan justru membakar emosi publik melalui judul-judul bombastis. Sedangkan pejabat negara, setiap kata yang mereka ucapkan akan dipersepsikan sebagai sikap resmi negara. Kalimat yang salah bisa menjadi bola liar yang sulit dikendalikan,” tegasnya.
Haidar Alwi juga mengingatkan tentang pengalaman reformasi tahun 1998, yang membawa perubahan besar terhadap berbagai institusi, termasuk Polri. Menurutnya, proses pemisahan Polri dari ABRI kala itu memerlukan waktu dan tahapan panjang untuk membangun profesionalisme serta memperkuat peran Polri sebagai aparat sipil.
“Jika sekarang wacana reformasi dibicarakan tanpa kesadaran historis, kita berisiko mengulangi kegaduhan lama dengan biaya sosial yang mahal. Membicarakan reformasi Polri berarti membicarakan masa depan Indonesia,” katanya.
Ia menambahkan, pembongkaran institusi tanpa membangun pondasi baru yang kuat justru dapat melumpuhkan fungsi keamanan negara, terutama di tengah situasi global yang penuh ketidakpastian.
Lebih lanjut, Haidar Alwi menekankan bahwa reformasi Polri tidak boleh dijadikan komoditas politik jangka pendek. Sebaliknya, reformasi ini harus menjadi agenda jangka panjang bangsa yang dilakukan dengan strategi yang jelas, bertahap, dan dikomunikasikan secara tepat kepada masyarakat.
“Reformasi Polri memang suatu kebutuhan, namun harus dilakukan dengan strategi yang jelas, bertahap, dan dikomunikasikan secara hati-hati kepada masyarakat. Tanpa itu, kita hanya akan menciptakan persepsi bahwa Polri adalah masalah besar yang harus dibongkar total,” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, Haidar Alwi kembali mengingatkan bahwa kata-kata memiliki kekuatan yang besar dalam membentuk persepsi publik.
“Semuanya tergantung sejauh mana pengamat, aktivis, media, dan pejabat negara bisa menjaga kata-kata mereka. Karena dalam masalah sebesar ini, kata-kata bisa menenangkan, tetapi juga bisa membakar. Kata-kata bisa membangun kepercayaan, tapi juga bisa meruntuhkan fondasi negara,” pungkasnya. (Nanang)

0 komentar:
Post a Comment