Jakarta - Ledakan di SMAN 72 Jakarta bukan sekadar dentuman bahan kimia. Ia adalah jeritan seorang anak bangsa yang kehilangan ruang untuk didengar. Di balik suara keras itu, tersimpan kesunyian batin yang telah lama dibiarkan tanpa tempat bersandar. Bangsa ini kembali diingatkan bahwa di antara deru pembangunan dan kemajuan teknologi, ada jiwa-jiwa muda yang mulai kehilangan arah. Polri hadir menegakkan hukum, tetapi bangsa ini harus hadir menegakkan hati.
Dalam pandangan R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, sekaligus Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB, peristiwa ini bukan sekadar kasus pidana, melainkan cermin dari rapuhnya komunikasi sosial antara generasi tua dan muda. Haidar Alwi menilai langkah cepat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam memimpin penanganan tragedi ini menunjukkan kepemimpinan Presisi yang berpijak pada kemanusiaan.
“Di tengah kepanikan, Polri tetap menjadi penenang. Inilah wajah hukum yang berperasaan,” ujar Haidar Alwi.
Dari Luka Sosial ke Ledakan Nurani.
Peristiwa itu terjadi Jumat, 7 November 2025, sekitar pukul 12.15 WIB, di Masjid SMAN 72 Kelapa Gading. Saat itu, jamaah shalat Jumat tengah bersiap, dan tiba-tiba ledakan terdengar dari arah tempat wudhu. Beberapa siswa terluka, pelaku remaja berusia 17 tahun ikut terhempas. Polri segera mengevakuasi korban, mensterilkan area, dan mengamankan barang bukti berupa bahan kimia serta perangkat rakitan. Dalam tempo singkat, tim Puslabfor dan Densus 88 diterjunkan, sementara Kapolri memantau langsung proses penyelidikan.
Tindakan cepat ini adalah bentuk nyata Presisi dalam krisis: prediktif, tanggap, dan berkeadilan. Polri tidak bereaksi dengan tuduhan, tetapi bertindak dengan ketenangan.
“Kecepatan yang tidak panik adalah tanda kecerdasan. Dan di situlah letak moral Presisi,” tegas Haidar Alwi.
Menurut Haidar Alwi, respons cepat Polri bukan hanya prosedur hukum, tapi juga wujud tanggung jawab sosial: menenangkan siswa, membantu keluarga korban, dan menjaga kepercayaan publik agar rasa takut tidak berubah menjadi kebencian.
Presisi Kapolri, Cermin Moral untuk Generasi Muda.
Penyelidikan mengungkap fakta lain: pelaku adalah remaja introvert, berprestasi biasa, namun tertutup dan sering merasa terisolasi. Teman-temannya menyebut ia pernah menjadi korban perundungan kecil, sementara di dunia maya ia aktif dalam forum-forum anonim yang membahas eksperimen kimia ekstrem. Dalam pandangan Haidar Alwi, ini bukan tindakan teror ideologis, melainkan ledakan emosional akibat kekosongan empati di sekitarnya.
“Ketika anak kehilangan ruang kasih, mereka mencari perhatian lewat ledakan. Itulah tanda bahwa bangsa ini harus memperbaiki caranya mendidik,” ujar Haidar Alwi.
Di sinilah nilai Presisi menjadi penting. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah memperlihatkan bagaimana kepemimpinan modern tidak hanya menegakkan hukum, tapi juga merawat kemanusiaan.
Haidar Alwi menjelaskan, Presisi terdiri dari tiga fondasi moral:
Prediktif, yaitu kemampuan membaca potensi ancaman sebelum terjadi;
Responsibilitas, keberanian menanggung tanggung jawab tanpa menyalahkan;
dan Transparansi Berkeadilan, keteguhan menegakkan kebenaran dengan hati yang jernih.
Nilai-nilai ini seharusnya diwariskan ke generasi muda sebagai kurikulum moral bangsa. Karena remaja hari ini tidak hanya butuh informasi, tapi juga arah.
“Presisi bukan sekadar strategi Polri, tapi cara berpikir bangsa. Jika anak-anak belajar Presisi, mereka akan berpikir sebelum bertindak, dan mencintai sebelum marah,” jelas Haidar Alwi.
Polri Presisi telah membuktikan bahwa keamanan bukan hanya urusan senjata, tapi urusan nurani. Dalam penyelidikan kasus SMAN 72, Polri tidak terburu-buru melabeli pelaku sebagai teroris, melainkan menyelidiki latar belakang psikologis dan sosialnya secara hati-hati. Langkah ini, menunjukkan kedewasaan hukum yang berpikir dan berempati.
“Keadilan sejati tidak menghukum yang salah saja, tapi juga menyembuhkan yang terluka,” tegas Haidar Alwi.
Di era digital ini, Haidar Alwi menyoroti pentingnya literasi digital dan deteksi dini terhadap potensi radikalisasi di kalangan remaja. Dunia maya, bisa menjadi ruang pembelajaran, tetapi juga ruang kesepian yang berbahaya bila tanpa bimbingan. Karena itu, ia mendorong kerja sama aktif antara Polri, Kementerian terkait, dan lembaga pendidikan dalam membangun sistem early warning sosial.
“Intelijen sejati bukan hanya mendeteksi ancaman di luar, tapi juga luka di dalam diri anak bangsa,” ujar Haidar Alwi.
Nilai Presisi ini tidak boleh berhenti di institusi kepolisian. Ia harus menjadi pendidikan karakter nasional. Sekolah perlu mengajarkan disiplin yang berempati, keluarga harus memperkuat komunikasi yang jujur, dan masyarakat perlu berhenti menstigma anak muda yang gagal menyesuaikan diri.
“Negara bisa menghukum, tapi masyarakatlah yang harus menyembuhkan,” kata Haidar Alwi.
Bangsa yang Belajar dari Sunyi.
Haidar Alwi menilai tragedi SMAN 72 seharusnya menjadi momen refleksi nasional. Polri telah menunjukkan sisi humanis dan respons cepat yang menjadi teladan, kini giliran masyarakat membangun sistem sosial yang lebih peduli. Sekolah-sekolah harus memiliki konselor aktif, ruang dialog bagi siswa, dan SOP anti-bullying yang nyata. Media harus berhenti menjadikan peristiwa seperti ini sensasi, dan mulai menjadikannya pelajaran moral bagi publik.
“Tragedi akan berulang jika bangsa hanya ingin tahu siapa pelakunya, tapi tak mau tahu kenapa anak itu meledak,” ujar Haidar Alwi.
Dari sisi hukum, Haidar Alwi menegaskan perlunya keseimbangan antara keadilan dan kemanusiaan. Haidar Alwi mengapresiasi Polri karena menerapkan pendekatan restorative justice dalam menangani pelaku di bawah umur. Dengan cara ini, hukum tidak kehilangan makna sosialnya.
“Presisi bukan hanya soal algoritma hukum, tapi harmoni antara akal dan hati,” kata Haidar Alwi.
Haidar Alwi melihat bahwa kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah membawa Polri menjadi pelindung moral masyarakat. Polri Presisi adalah simbol bahwa kebenaran bisa ditegakkan dengan empati, dan keadilan bisa dijalankan dengan kasih. “Kapolri telah menulis arah baru: hukum yang berperasaan, data yang bernurani, dan polisi yang mengajar bangsa berpikir jernih,” ungkap Haidar Alwi.
Masa depan Indonesia bergantung pada sejauh mana bangsa ini mampu mendengarkan sunyi dari generasi mudanya. “Ledakan di SMAN 72 adalah awal kesadaran bangsa. Kita harus belajar Presisi, berpikir jernih, bertindak adil, dan bertanggung jawab terhadap masa depan. Polri menjaga keamanan, kita menjaga kemanusiaan. Dan di antara keduanya, ada harapan yang disebut Indonesia,” pungkas Haidar Alwi. (Nanang)


0 komentar:
Post a Comment